Dari Yogyakarta ke Tuapeijat Mentawai.
Oleh Sundoyo. Ketua Bapelsin XXIX GKJ.
Ini perjalanan kali pertama saya di acara Sidang MPL PGI. Perjalanan sebagai wakil Sinode di PGI, lembaga oikumene di Indonesia dimana GKJ ikut menjadi bidan yang melahirkan. Saya berangkat dengan posisi menggantikan keanggotaan Bapak Pdt Aris Widaryanto di MPL PGI. Sidang dilaksanakan hari Jumat – Senin, 26 sd 29 Januari 2024, dilaksanakan di Tuapeijat – Mentawai. Karena Mentawai adalah kepulauan di wilayah Propinsi Sumatera Barat, maka perjalanan dari Yogya ke lokasi sidang cukup menantang.
Saya berangkat dari Yogyakarta Internasional Airport dengan pesawat jam 6.25 sehingga harus sudah bangun jam 4 pagi. Segera pesan gojek dan angkat rangsel menuju stasiun tugu untuk naik kereta bandara. Perjalaan yang nyaman dan murah dengan moda transportasi umum, tentu ini hasil kerja pemerintah yang menghadirkan fasilitas transportasi umum yang bagus. Pesawat berangkat pagi disertai dengan cahaya matahari yang cerah, yang sudah menghilang selama satu minggu di Yogya. Matahari terasa sirna tersapu oleh Badai Anggek, namun serasa mekar menghantar perjalananku menjalankan tugas gerejawi.
Tidak ada pernerbangan yang langsung dari Yogyakarta ke Padang, maka harus transit di Bandara Soekarno Hatta. Menunggu sekitar 2 jam, pesawat menuju Padang sudah siap membawaku terbang tinggi. Kondisi penumpang penuh, sama seperti penumpang dari Yogyakarta ke Jakarta. Dari ratusan orang yang melakukan perjalanan, hanya beberapa orang yang memakai masker, akupun tidak. Kondisi sudah pulih paska Covid 19, banyak mobilitas orang dan dalam kondisi yang sehat. Prilaku yang berubah bagiku sendiri adalah kebiayaan sering cuci tangan dengan sabun.
Perjalanan terasa nyaman dan singkat karena sepanjang jalan menikmati film. Sampai di Padang tengah hari, disambut dengan panasnya cuaca. Rasa panasnya seperti Semarang, membuatku harus lebih banyak minum. Peserta harus menginap semalam di Padang sebelum berangkat ke Tuapeijat. Panita memfasilitasi jika peserta ingin menginap di hotel yang sama, tentu dengan biaya sendiri. Tidak ada rumah makan Padang di Padang, makan malamku di warung lele yang penjualnya lancar berbahasa Minangkabau saat melayani pelanggan. Tapi kalau saling bercakap antara karyawan, mereka berbahasa jawa, dengan logat bahasa jawatimuran mereka saling bercanda.
Jam 4 pagi, kamarku diketok-ketok, cukup kaget. Setelah aku buka, seorang satpam menyampaikan bahwa dia mendapat tugas untuk membangunkan semua peserta Sidang MPL PGI untuk segera bangun dan mempersiapakan diri. Dia datang lebih awal dari alarm hpku. Segera bersiap supaya tidak ketinggalan kapal. Semua tas, koper dikumpulkan dengan diberi tanda pita hijau untuk dibawa lebih dulu, sedangkan peserta dipersilahkan makan pagi. Dengan diangkut kendaraan kecil, peserta dibawa ke pelabuhan Padang. Peserta naik kapal cepat Mentawai Fast, perjalanan terasa panjang dan tidak kunjung sampai di darat.
Disiapkan layar tv besar di dalam kapal yang ada 3 lantai ini. Sudah tiga film habis dan juga lagu-lagu Padang yang dilihat, tetap saja kapal masih malaju menerjang ombak. Semakin terasa lama perjalanan karena perut mual, kepala pusing dan sulit tidur dalam kondisi gelombang yang membuat tubuh terasa ‘kompal-kampul’. Kondisi cuaca cerah, tapi tubuh yang tidak biasa naik kapal dilaut membutuhkan waktu untuk adaptasi. Semoga ketika pulang ke Padang, tubuhnya semakin akrah dengan ‘kompal-kampul’nya kapal. Untuk menghilangkan kejenuhan, sempat juga naik ke atas kapal untuk melihat laut lepas, tapi ternyata tidak betah juga menghadapi angin yang kencang. Memang kalau sudah tidak nyaman jadi serba salah.
Saya sendiri tahu alasan Sidang MPL PGI dilakukan di Mentawai. Ini sebagai simbol dukungan dan cara PGI mengangkat isu daerah 3T (terluar, terdepan dan tertinggal) supaya mereka mendapatkan perhatian dari Pemerintah Pusat dan juga membuka jaringan kerjasama antar sinode-sinode anggota PGI untuk memajuan saudara-saudara di daerah 3T. Saya kira semangat itulah yang masih membuat tubuhku bersedia kerjasama dengan perjalanan panjang di laut. Saya juga sempat lihat-lihat dan pegang-pegang pelampung warna kuning dibawah kursiku. Serta mencermati jalur pintu kalau harus segera meninggalkan kapal diwaktu emergency. Ini kewaspadaan yang dilatih dalam kewaspadaan dini dalam menghadapi bencana. Akhirnya lega juga setelah kakiku mengijak tanah di Bumi Sikerei. Sekitar jam 12.30 siang kami mendarat dan disambut oleh PJ Bupati, Eporus GKPM dan puluhan orang dengan baju warga merah dengan ornamen kuning, yang dihiasi dengan kalung serta daun-daun yang menjuntai dimanik-manik kalung. Para peserta juga disamput dengan penari adat oleh beberapa penari tua yang tubuhnya bertato tardisional. Sampai juga dan segera bersiap untuk ibadah pembukaan.